Jumat, 14 Agustus 2009

PERANAN KOMTE SEKOLAH DAN KREATIVITAS KEPALA SEKOLAH PADA PEMBIAYAAN RSBI DALAM PENINGKATAN MUTU SEKOLAH DI SMAN 1 BANJAR

PERANAN KOMITE SEKOLAH DAN KREATIFITAS
KEPALA SEKOLAH PADA PEMBIAYAAN RSBI DALAM PENINGKATAN
MUTU SEKOLAH DI SMAN 1 BANJAR

MAKALAH


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Kebijakan Dalam Sistem Pendidikan
Dosen : Prof. Dr. H. Suherli Kusmana, M.Pd.

























Disusun oleh :

Juandi
NIM : 82320809595






PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2009
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi robi atas karunia dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Peranan Komite Sekolah dan Kreatifitas Kepala Sekolah pada Pembiayaan RSBI dalam Peningkatan Mutu Sekolah”. Kajian ini merujuk pada UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3 mengatakan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu tahun pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional” yang mulai dirintis pada tahun 2006.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kelemahan kajian ini semula dirasakan berpangkal pada keterbatasan kemampuan dalam mencernakan hasil observasi dan pencarian data pendukung yang sangat terbatas. Namun pada kesempatan ini sepatutnyalah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Dengan kerendahan hati segalah saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan, kiranya akan sangat bermanfaat untuk penyempurnaan kajian ini selanjutnya.
Semoga semua amal kebaikan semua pihak mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.

Ciamis, Agustus 2009

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................
1.2. Identifikasi Masalah ............................................................
1.3. Rumusan Masalah ...............................................................
1.4. Tujuan Penulisan Makalah ..................................................
1.5. Definisi Operasional / Penyelesaian Istilah .........................
1
2
2
2
3
BAB II PEMBAHASAN DAN PEMECAHAN MASALAH
2.1. Kajian Teori .........................................................................
2.2. Pemecahan Masalah ............................................................
2.3. Pembahasan Masalah ..........................................................
4
6
7
BAB III PENUTUP
Kesimpulan .........................................................................
Saran ....................................................................................
9
10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 11


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Upaya untuk melaksanakan/ melakukan rintisan penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI) dilatarbelakangi oleh alasan-alasan berikut :
Pertama : Lahirnya era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat di bidang teknologi, manajemen dan sumber daya manusia. Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan kunci daya saing karena SDMlah yang akan menentukan siapa yang mampu menjaga kelangsungan hidup, perkembangan dan kemenangan dalam persaingan.
Kedua : Rintisan penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat yaitu pasal 50 ayat 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20/2003) yang menyebutkan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu tahun pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”.
Ketiga : Penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofis eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme) yang berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro perubahan (kreatif, inovatif dan eksperimentatif) menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik.
Dalam mengaktualisasikan kedua filosofis tersebut, empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be, merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di indonesia mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga penilaian.
Keempat : Adanya tuntutan dari masyarakat melalui komite sekolah agar kegiatan belajar mengajar di sekolah lebih ditingkatkan berorientasi kepada pengembangan IPTEK secara global sehingga anak mampu bersaing di dunia internasional dengan bahasa inggris sebagai bahasa pengantarnya.
Berdasarkan alasan-alasan/ latar belakang tersebut, maka perlu kiranya pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pengajaran yang bertaraf internasional yang didukung oleh masyarakat sebagai mitra dalam membantu penyelenggaraannya.

1.2. Identifikasi Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang, maka muncul berbagai macam masalah yang berkaitan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan melalui pendirian sekolah bertaraf internasional.
Peranan Komite Sekolah sebagai mitra dalam penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional sangat diutamakan. Begitu juga kepala sekolah mendapat posisi yang sangat menentukan arah, strategi dan tujuan dari suatu lembaga pendidikan, penentu kebijakan anggaran dan bersifat visioner, sehingga kepala sekolah yang dibantu oleh segenap akademika mempunyai peranan yang sangat penting.

1.3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang bisa kami munculkan identifikasi masalah di atas adalah:
1. Bagaimana peranan komite sekolah dalam pembiayaan RSBI pada peningkatan mutu sekolah.
2. Bagaimana peran kepala sekolah dalam pembiayaan RSBI pada peningkatan mutu pendidikan.
3. Bagaimana pengaruh biaya RSBI terhadap peningkatan mutu sekolah.

1.4. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Seminar Manajemen Pendidikan.
2. Memberikan gambaran secara umum tentang keberadaan sekolah RSBI sebagai realisasi/ implementasi UU No.20 Tahun 2003 pasal 50 ayat 3, dan visi Depdiknas “terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”.
3. Mengetahui sejauh mana peranan komite sekolah serta kreatifitas kepala sekolah pada pembiayaan RSBI dalam meningkatkan mutu sekolah.

1.5. Definisi Operasional/ Penjelasan Istilah
Ada beberapa istilah yang perlu mendapat penjelasan agar lebih jelas dan bermakna, antara lain:
1. RSBI adalah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dengan pengertian ini, SBI dapat dirumuskan sebagai berikut:
SBI = SNP + X, dimana SNP adalah Standar Nasional Pendidikan yang meliputi kompetensi lulusan, isi proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana, dan prasarana, dana, pengelolaan dan penilaian dan x merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
2. Peran komite sekolah adalah upaya/ strategi yang dilakukan oleh sebuah organisasi orang tua siswa dalam bentuk komite sekolah dalam membantu terselenggaranya pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.
3. Peran kepala sekolah - langkah-langkah yang ditempuh oleh seorang pemimpin dalam suatu lembaga pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu sekolah sejak perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga mampu menghasilkan outcome yang memiliki kemampuan yang tinggi berdaya saing internasional.
Kepala sekolah sebagai manajerial harus mampu bekerja sama dengan komite sekolah dalam mengelola pembiayaan di bidang pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN DAN PEMECAHAN MASALAH

2.1. Kajian Teori
SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dengan pengertian ini, SBI dapat dirumuskan sebagai berikut:
SBI = SNP + X
dimana SNP adalah Standar Nasional Pendidikan yang meliputi kompetensi lulusan, isi proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana, dan prasarana, dana, pengelolaan dan penilaian dan x merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
Jika adaptasi atau adopsi terhadap program-program pendidikan dari luar negeri dilakukan, maka SBI perlu mencari mitra internasional (sekolah di luar negeri) yang mutunya telah diakui secara internasional, atau pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/ sertifikasi internasional seperti misalnya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi, dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO.
Adapun visi, misi serta tujuan dari SBI adalah sebagai berikut, visi SBI “terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”, misi SBI “mewujudkan manusia Indonesia cerdas dan kompetitif secara internasiona, yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global. Misi ini direalisasikan melalui kebijakan, rencana, program dan kegiatan SBI yang disusun secara cermat, tepat, futuristic dan berbasis demand-driven. Adapun tujuan penyelenggaraan SBI bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional sekaligus.
Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan SBI, sehingga didapat peningkatan mutu lulusan yang berkelas nasional dan internasional, diperlukan kerja keras semua stakeholder yang terlibat.


Peranan komite sekolah sangat penting, diantaranya:
1. Pemberi pertimbangan (advisor agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan termasuk pembiayaan pendidikan.
2. Pendukung (supporting agency) yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan (Program RSBI)
3. Pengontrolan (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan program pendidikan.
4. Mediator antara pemerintah (sekolah) dengan masyarakat.
Kreatifitas sekolah sangat diperlukan dalam mencari berbagai strategi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, sebagai manajer mulai dari menyusun perencanaan, mengorganisasikan kegiatan, melaksanakan pengawasan dan evaluasi semua dilakukan sebagai suatu siklus yang bertujuan menciptakan sekolah yang bermutu. Sebagai administrator, kepala sekolah menyelenggarakan perencanaan keuangan (pembiayaan) sehingga kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan dapat berjalan kembali dengan baik. Peranan komite sekolah dan kreatifitas kepala sekolah khususnya dalam pembiayaan penyelenggaraan RSBI bisa digambarkan dengan pola sebagai berikut:
Peranan komite sekolah dan kreatifitas kepala sekolah dianggap sebagai dua variabel independent, sedangkan mutu sekolah dianggap sebagai variabel dependen.







Paradigma ganda dengan dua variabel independent X1 dan X2 dan satu variabel dependen Y.





2.2. Pemecahan Masalah
Penyelenggaraan SBI memerlukan biaya yang memadai. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa SBI memerlukan input dan proses yang memadai untuk mencapai output yang bertaraf internasional. Inputnya, baik kurikulum, guru maupun sarana dan prasarana, harus dipersiapkan agar bertaraf internasional sehingga memerlukan biaya banyak. Proses belajar-mengajar SBI menerapkan pendekatan-pendekatan yang kreatif, inovatif dan eksperimentatif sehingga dukungan dana yang memadai sangat diperlukan. Pertanyaannya adalah: siapa, membiayai berapa banyak, untuk apa?
Berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka proporsi pembiayaan SBI negeri dapat diformulasikan sebagai berikut. Pemerintah pusati membiayai 50%, pemerintah daerah propinsi 30% dan pemerintah daerah kabupaten/ kota 20%. Formulasi ini bukan harga mati. Artinya, bagi daerah-daerah yang kaya, mereka dapat berkontribusi lebih dari besarnya presentasi tersebut.
Bagi SBI swasta, biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat dan yayasan pendiri sekolah tersebut. Saat ini, di Indonesia telah memiliki sejumlah sekolah swasta yang bertaraf internasional. Mereka umumnya dibiayai oleh masyarakat dan yayasan-yayasan yang mendirikan sekolah-sekolah tersebut. Meskipun demikian, sekiranya tersedia, subsidi dari pemerintah dapat diberikan atas dasar persyaratan-persyaratan tertentu.
Bagi peserta didik SBI yang lemah secara ekonomi dapat didukung pembiayaannya melalui subsidi silang dari peserta didik yang kaya.
Hal ini penting digarisbawahi agar SBI merupakan sekolah untuk semua dan bukan sekolah eksklusif yang diperuntukkan bagi kaum elit semata. Dengan cara subsidi silang, maka kebijakan pemerataan pendidikan dapat ditegakkan (strategi pembiayaan SBI yang lebih rinci sedang dikoordinasikan dengan masing-masing Direktorat Pembinaan TK dan SD, SMP, SMA dan SMK).
Mengingat keterbatasan dana dari pemerintah pusat dan daerah, maka strategi pembiayaan SBI kedepan harus mempertimbangkan kontribusi dari masyarakat. Penggalangan dana dari masyarakat perlu diupayakan melalui sosialisasi program-program SBI dan besarnya biaya yang diperlukan serta keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam membiayai SBI.
Selain itu, desentralisasi dan otonomi daerah memberi peluang lebih besar kepada daerah untuk berkontribusi semaksimal mungkin dalam pendanaan SBI sehingga kedepan, peran pemerintah pusat dalam pendanaan makin berkurang dan sebaliknya, peran pemerintah daerah dalam pendanaan SBI meningkat. Hal ini perlu ditekankan agar keberlanjutan (sustainability) pembiayaan dapat dijamin. Dukungan pemerintah pusat terhadap pembiayaan SBI semestinya sebatas pada perintisan (kurang lebih 3 tahun), dan selanjutnya SBI dibiayai oleh pemerintah daerah.
Komite sekolah berperan menghimpun potensi dana dari masyarakat dan menjembatani dengan pemerintah sehingga peningkatan mutu sekolah bisa terwujud. Kreatifitas kepala sekolah adalah hal penting yang harus ada, sebagaimana administrasi kepala sekolah mengorganisasi pembiayaan, mencari berbagai terobosan sehingga standar SBI bisa nampak pada sekolah tersebut dan berimplikasi terhadap peningkatan mutu sekolah.

2.3. Pembahasan Masalah
Mengacu pada visi, misi dan tujuan penyelenggaraan SBI, yaitu terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional serta mampu bersaing secara global, maka semua komponen yang terlibat harus bekerja keras dalam mewujudkan program SBI.
Mengingat program SBI merupakan upaya sadar, intens, terarah dan terencana untuk mewujudkan citra manusia ideal yang memiliki kemampuan dan kesanggupan hidup secara local, regional, nasional dan global maka perlu standar yang meliputi input, proses dan output.
Penyelenggaraan SBI memerlukan biaya yang memadai. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa SBI memerlukan input dan proses yang memadai untuk mencapai output yang bertaraf internasional. Berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka proporsi pembiayaan SBI, pemerintah pusat membiayai 50%, propinsi 30% dan pemerintah daerah kabupaten/ kota 20%.
Pada pembiayaan pemerintah daerah kabupaten/ kota ini ada didalamnya peran komite sekolah yang sangat signifikan, dalam mendorong keterlibatan aktif masyarakat untuk membantu penggalangan dana yang diperlukan.
Pelayanan pendidikan yang bermutu tidak bisa dicapai tanpa adanya koordinasi dari berbagai stakeholder, lingkungan sekolah dan jajarannya, kebijakan pemerintah juga keterlibatan masyarakat didalamnya. Peranan stakeholder diharapkan dapat memberikan masukan, saran dan pendapat untuk menghindari kondisi yang tidak menguntungkan, diantaranya salah komunikasi, salah persepsi antar sekolah dengan masyarakat. Diharapkan komite sekolah bisa menjembatani antara lembaga sekolah dan masyarakat serta mengimplementasikan tujuan pendidikan di sekolah, yaitu kualitas layanan ke anak didik secara optimal.
Sedangkan figure kepala sekolah yang berwibawa, memiliki pola kepemimpinan yang baik serta penuh dengan kreatifitas dan inovasi, gagasan-gagasn yang cemerlang di segala bidang termasuk pembiayaan SBI, diyakini akan mampu mewujudkan peningkatan mutu sekolah.
Karakteristik sekolah yang bermutu terpadu harus memenuhi beberapa aspek :
1. Fokus kepada kostumer: sebuah sekolah yang bermutu terpadu setiap orang menjadi kostumer dan pemasok sekaligus.
2. Keterlibatan total; setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu.
3. Pengukuran pada sarana untuk mengukur kemajuan berdasarkan pencapaian standar.
4. Komitmen dan perbaikan secara berkelanjutan.
Sekolah bertaraf internasional merupakan sekolah yang sudah memenuhi seluruh standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional dan harus bisa memberi jaminan mutu pendidikan dengan standar yang lebih tinggi dari standar nasional pendidikan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu pasal 50 ayat 3 undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UUSPN 20/2003) yang menyebutkan bahwa “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”. Program SBI ini bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional sekaligus, mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.
Pembiayaan pendidikan program SBI ini memerlukan perhatian yang lebih, karena untuk menghasilkan kualitas yang baik diperlukan berbagai penunjang, dan itu memerlukan dana. Standar pembiayaan program SBI sebagai berikut:
a. SBI menyediakan dana pendidikan yang cukup dan berkelanjutan untuk menyelenggarakan pendidikan sekolah.
b. SBI menghimpun/ menggalang dana dari potensi sumber dana yang bervariasi.
c. SBI mengelola dana pendidikan secara transparan, efisien, dan akuntabel sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
d. Dalam mengalokasikan dana pendidikan, SBI berpegang pada prinsip keadilan (equity/ fairness) dan pemerataan (equality).
Untuk dapat mewujudkan standar tersebut maka peran komite sekolah harus ditingkatkan, terutama dalam menghimpun dan menggalang dana dari masyarakat, serta peran lain dari komite sekolah sebagai berikut:
 Pemberi pertimbangan (advisor agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan termasuk pembiayaan pendidikan.
 Pendukung (supporting agency) yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan (program RSBI).
 Pengontrolan (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan program pendidikan.
Sedangkan faktor kreatifitas kepala sekolah mutlak harus dimiliki, kepala sekolah harus terus-menerus mencoba berbagai strategi untuk mampu mewujudkan tujuan dari penyelenggaraan SBI.

Saran
Berdasarkan hasil kajian dari makalah ini, ada beberapa hal sebagai saran:
1. Penyelenggaraan SBI harus diimbangi dengan mempersiapkan faktor-faktor pendukungnya, diantaranya: sarana prasarana, tenaga pendidiknya, kurikulumnya, disertai perubahan paradigma dalam pengelolaan di bidang pendidikan.
2. Tingkatkan efisiensi dalam pemanfaatan anggaran harus tepat sasaran.
3. Kepala sekolah harus memiliki kemampuan manajerial yang baik, dalam pemanfaatan anggaran.
4. Komite sekolah harus berperan aktif dalam penggalangan dana dari masyarakat.
5. Kepada pemerintah daerah diharapkan secara terus menerus mendorong melalui kebijakan-kebijakannya yang bisa menciptakan iklim yang menunjang kemajuan pendidikan, sehingga pendidikan yang bermutu menjadi sebuah kenyataan dan bisa dinikmati oleh masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pendanaan Pendidikan.

Badan Nasional Standarisasi Pendidikan, Pedoman Penjamin Mutu, sekolah/ madrasah bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, Jakarta. 2008.

Lesley Munor-Faure. Malcolm Munro-Faure. Properties by Suryana (1999). Implementing Total Quality Management. PT. Elex Media Komputindo.

Moelyadi.2006. Manajemen Keuangan Pendekatan Kuantitaf dan Kualitatif Jilid I Malang, Bayu Media.

Nanang Fattah. 2006. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosda Karya.

Jumat, 22 Mei 2009

PERLUNYA MONITORING DAN EVALUASI DARI PROGRAM INOVASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Monitoring dan evaluasi merupakan bagian integral dari pengolahan pendidikan, baik di tingkat mikro (sekolah), meso (Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, Dinas Pendidikan Propinsi), maupun makro (Departemen). Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan monitoring dan evaluasi, kita dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan pada tingkat sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen.

Tanpa pengukuran, tidak ada alasan untuk mengatakan apakah suatu sekolah mengalami kemajuan atau tidak. Monitoring dan evaluasi, pada umumnya menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Karena itu, monitoring dan evaluasi yang bermanfaat adalah monitoring dan evaluasi yang menghasilkan informasi yang cepat, tepat, dan cukup untuk pengambilan keputusan.

B. Tujuan

Monitoring dan evaluasi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan (umpan balik) bagi perbaikan pelaksanaan KBM. Sedang hasil evaluasi dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan terhadap keseluruhan komponen KBM, baik pada konteks, input, proses, output, maupun outcome-nya. Masukan-masukan dari hasil monitoring dan evaluasi akan digunakan untuk pengambilan keputusan.

C. Kegunaan

Perlunya monitoring dan evaluasi secara intensif dan dilakukan secara terus-menerus. Dengan monitoring dan evaluasi, kita dapat menilai apakah KBM benar-benar mampu meningkatkan mutu pendidikan. Jika KBM kurang berhasil, apanya yang salah? Karena itu, dengan monitoring dan evaluasi, kita juga dapat memperbaiki konsep dan pelaksanaan KBM.

Adalah pada komponen proses KBM baik menyangkut proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, maupun pengelolaan proses belajar mengajar. Sedang evaluasi merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi tentang hasil KBM. Jadi fokus evaluasi adalah pada hasil KBM. Informasi hasil ini kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Jadi hasil sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan, berarti KBM efektif. Sebaliknya hasil tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan, maka KBM dianggap tidak efektif (gagal). Oleh karena itu, sebaiknya setiap sekolah yang melaksanakan KBM diharapkan memiliki data-data tentang prestasi siswa sebelum dan sesudah KBM. Hal ini penting untuk dilakukan agar sekolah dengan mudah untuk membandingkan prestasi siswa sebelum dan sesudah KBM ada peningkatan prestasi yang signifikan dibandingkan sebelum KBM, maka hal ini dapat diduga bahwa KBM cukup berhasil.


BAB II

INOVASI DI BIDANG PENDIDIKAN

A. Konsep Dasar Inovasi Pendidikan

Pendidikan kita dewasa ini menghadapi berbagai tantangan dan persoalan, diantaranya:

1. Bertambahnya jumlah penduduk yang sangat cepat dan sekaligus bertambahnya keinginan masyarakat untuk mendapat pendidikan yang secara kumulatif menuntut tersedianya sarana pendidikan yang memadai.

2. Berkembangnya ilmu pengetahuan yang modern menghendaki dasar-dasar pendidikan yang kokoh dan penguasaan kemampuan terus menerus dan dengan demikian menuntut pendidikan yang lebih lama sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup (long life education).

3. Berkembangnya teknologi yang mempermudah teknologi manusia dalam menguasai dan memanfaatkan alam dan lingkungannya, tetapi yang seringkali ditangani sebagai suatu ancaman terhadap kelestarian peranan manusiawi.

Tantangan-tantangan diatas lebih berat lagi dirasakan karena berbagai persoalan yang datang, baik dari luar maupun dari dalam sistem pendidikan itu sendiri, diantaranya:

  1. Sumber-sumber yang makin terbatas dan belum dimanfaatkan sumber yang ada secara efektif dan efisien.
  2. Sistem pendidikan yang masih lemah dengan tujuan yang masih kabur, kurikulumnya belum serasi, relevan dan suasana yang belum menarik.
  3. Pengelolaan pendidikan yang belum mekar dan mantap serta belum peka terhadap perubahan dan tuntutan keadaan, baik masa kini maupun masa akan datang.
  4. Masih kabur dan belum mantapnya konsepsi tentang pendidikan dan interprestasinya dalam praktek.

Keseluruhan tantangan dan persoalan tersebut memerlukan pemikiran kembali yang mendalam dan pendekatan baru yang progresif yang harus selalu didahului dengan penjelajahan yang mendahului percobaan dan tidak boleh semata-mata atas dasar coba-coba. Gagasan baru sebagai hasil pemikiran kembali haruslah mampu memecahkan persoalan yang tidak terpecahkan hanya dengan cara yang tradisional atau komersial dan gagasan dan pendekatan baru yang memenuhi ketentuan inilah yang dinamakan inovasi pendidikan.

Dari uraian di atas dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan inovasi di bidang pendidikan adalah usaha mengadakan perubahan dengan tujuan untuk memperoleh hal yang lebih baik dalam bidang pendidikan, dimana pendidikan itu sendiri adalah suatu sistem, maka inovasi pendidikan mencakup hal-hal yang berhubungan dengan komponen sistem pendidikan, baik sistim dalam arti sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga pendidikan yang lain, maupun sistim dalam arti yang luas misalnya sistem pendidikan nasional.

Jadi dalam hal ini bahwa timbulnya inovasi di dalam pendidikan disebabkan oleh adanya persoalan dan tantangan yang perlu dipecahkan dengan pemikiran baru yang mendalam dan progresif. Karena itu inovasi pendidikan merupakan upaya dasar untuk memperbaiki aspek-aspek pendidikan agar lebih efektif dan efisien.

Cepat lambatnya penerimaan inovasi oleh masyarakat luas dipengaruhi oleh karakteristik inovasi itu sendiri. Misalnya penyebaran penggunaan kalkulator dan blue jeans, dalam waktu kurang 1-5 tahun sudah terkenal ke seluruh Amerika, sedangkan penggunaan tali pengaman bagi pengendara mobil baru tersebar merata setelah memakan waktu puluhan tahun. Menurut Everett M. Rogers (1993 : 14-16) mengemukakan karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi kecepatan penerimaan inovasi, yaitu:

1. Keuntungan relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya dan dapat diukur dari nilai ekonomi, status sosial, kesenangan, kepuasan, atau karena mempunyai komponen yang sangat penting.

2. Kompatibel, yaitu tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai pengalaman masa lalu dan kebutuhan dari penerima. Inovasi yang tidak sesuai dengan nilai atau norma yang diyakini oleh penerima, maka tidak akan diterima secepat inovasi yang sesuai dengan norma yang ada.

3. Kompleksitas, yaitu tingkat kesukaran untuk memahami dan menggunakan inovasi bagi penerima.

4. Trialabilitas, yaitu dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima. Suatu inovasi yang dapat dicoba akan cepat diterima oleh masyarakat dibandingkan inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu.

5. Dapat diamati, yaitu mudah tidaknya diamati suatu hasil inovasi.

Sedangkan menurut Zaltman, Duncan dan Holbek (1973 : 32-50) mengatakan bahwa cepat lambatnya penerimaan inovasi dipengaruhi oleh atributnya sendiri karena suatu inovasi dapat merupakan kombinasi dari berbagai macam atribut. Karena itu secara singkat atribut inovasi yang dikemukakan sbb :

  1. Pembiayaan
  2. Balik modal
  3. Efisiensi
  4. Resiko dari ketidakpastian
  5. Mudah dikomunikasikan
  6. Kompatibilitas
  7. Kompleksitas
  8. Status ilmiah
  9. Kadar keaslian
  10. Dapat dilihat kemanfaatannya
  11. Dapat dilihat batas sebelumnya
  12. Keterlibatan sasaran perubahan
  13. Hubungan interpersonal
  14. Kepentingan umum atau pribadi
  15. Penyuluhan
  16. Inovasi

B. Proses Inovasi Pendidikan

Nicocolo Machiavelli mengatakan "tiada pekerjaan yang lebih susah merencanakannya, lebih meragukan akan keberhasilannya, lebih berbahaya dalam pengelolaannya daripada menciptakan suatu pembaharuan …". Karena itu Roger, 1993 dalam bukunya The Prince (1513) mengatakan bahwa "apabila lawan telah merencanakan untuk menyerang inovator dengan mengerahkan kemarahan pasukannya sedangkan yang lainnya hanya bertahan dengan kemalasan, maka inovator beserta kelompoknya seperti dalam keadaan terancam".

Dalam pernyataannya Nicocolo Machiavelli menyatakan bahwa tugas inovator betapa sukarnya menyebarkan inovasi. Banyak orang mengetahui dan memahami sesuatu yang baru, tetapi belum mau menerima apalagi melaksanakannya. Banyak yang menyadari bahwa sesuatu yang baru itu bermanfaat baginya, tetapi belum juga mau menerima dan mau menggunakan atau menerapkannya. Contohnya, untuk mengefektifkan proses belajar mengajar, para guru diminta membuat persiapan mengajar dengan menggunakan model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Para guru ditatar dan dilatih membuat persiapan mengajar dengan model KTSP, tapi ternyata juga belum semua guru yang telah tahu dan telah dapat membuat persiapan mengajar dengan cara baru itu mau menggunakannya dalam kegiatan mengajar sehari-hari.

Ternyata ada jarak antara mengetahui dan mau menerapkannya serta menggunakan atau menerapkan ide yang baru tersebut, maka dalam proses penyebaran inovasi timbul masalah yakni bagaimana caranya untuk mempercepat diterimanya suatu inovasi oleh masyarakat (sasaran penyebaran inovasi).

C. Strategi Inovasi Pendidikan

Telah diketahui bahwa inovasi termasuk bagian dari perubahan sosial dan inovasi pendidikan merupakan bagian dari inovasi. Mengingat bahwa penyelenggaraan pendidikan formal adalah suatu organisasi, maka pola inovasi dalam organisasi lebih sesuai diterapkan dalam bidang pendidikan. Namun demikian organisasi pendidikan mempunyai karakteristik jika dibandingkan dengan organisasi yang lain di luar bidang pendidikan, sehingga untuk memperjelas wawasan tentang inovasi pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan situasi setempat, maka penjelasan ini akan menerangkan tentang bagaimana strategi yang dapat dilakukan berdasarkan keragaman yang ada dalam bidang pendidikan.

Dalam buku yang berjudul "How to Change Your School” (1978) oleh J. Loyd Trum dan William Geogiades diuraikan tentang petunjuk penerapan inovasi pada suatu sekolah untuk membantu menentukan teknik dan strategi mana yang paling tepat untuk memperbaiki sekolah. Beberapa petunjuk dalam penerapan inovasi pada suatu sekolah dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Pembuatan rumusan yang jelas tentang inovasi yang akan diterapkan.
  2. Menggunakan metoda atau cara yang memberi kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam suatu usaha merubah pribadi maupun sekolah.
  3. Menggunakan berbagai macam alternatif pilihan (option) untuk memudahkan penerapan inovasi.
  4. Menggunakan data atau informasi yang sudah ada untuk bahan pertimbangan dalam menyusun perencanaan dan penerapan inovasi.
  5. Menggunakan tambahan data untuk mempermudah fasilitas terjadinya penerapan inovasi.
  6. Menggunakan kemanfaatan dari pengalaman sekolah atau lembaga yang lain.
  7. Membuat secara positif untuk mendapatkan kepercayaan.
  8. Menerima tanggung jawab pribadi.
  9. Mengusahakan adanya pengorganisasian kegiatan yang memungkinkan terjadinya kepemimpinan yang efektif.
  10. Mencari jawaban atas beberapa pertanyaan dasar tentang inovasi di sekolah.

D. Inovasi Kurikulum

Pemahaman mengenai inovasi kurikulum akan sangat membantu penerapan kaidah-kaidah pembelajaran pendidikan dasar. Masalah inovasi kurikulum tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan pendidikan. Maju mundurnya pendidikan bergantung sejauhmana pemahaman guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah termasuk pemahaman terhadap kurikulum, karena itu sifatnya mutlak bagi guru dalam membelajarkan siswa memahami strategi inovasi kurikulum, dimana tanpa guru melakukan inovasi kurikulum rasanya akan sulit diketahui secara pasti bagaimana kemajuan pendidikan dapat diketahui secara pasti.

Masalah-masalah inovasi kurikulum berkaitan dengan mutu secara kognitif, afektif dan psikomotorik. Sedangkan pemerataan yang berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian efisiensi dari segi internal dan eksternal.

Ada banyak inovasi beragam yang muncul, diantaranya yang dipaparkan oleh Hamalik (1992), dijelaskan bahwa :

  1. Ada inovasi yang dikembangkan untuk menjawab permasalahan relevansi seperti program muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dasar.
  2. Ada inovasi yang diarahkan untuk menjawab tantangan pemerataan pendidikan seperti Universitas Terbuka, SMP Terbuka dan Program Paket B pada pendidikan luar sekolah.
  3. Inovasi yang lebih dititikberatkan pada upaya menanggulangi permasalahan kurang memadainya mutu lulusan, seperti KBK dan sistim modul.
  4. Inovasi yang berkaitan pada misi utamanya adalah menjawab permasalah efisiensi pendidikan seperti sistim maju berkelanjutan dan sistim sekolah kecil.

Munculnya inovasi dilatarbelakangi oleh tantangan untuk menjawab masalah-masalah krusial dalam pendidikan. Masalah-masalah inovasi kurikulum mencakup aspek inovasi dalam struktur kurikulum, materi kurikulum dan inovasi proses kurikulum. Ketiga aspek kurikulum tersebut merupakan penggolongan jenis inovasi berdasarkan komponen sistem pendidikan yang menjadi bidang garapannya.

Inovasi kurikulum juga tergantung pada dinamika masyarakat sehingga perubahan dimasyarakat memiliki implikasi perubahan dalam pendidikan. Perubahan dalam pendidikan merupakan hal yang harus dilakukan bahkan mempertahankan inovasi pendidikan yang tidak populer sesuai akan merugikan anak didik juga struktur kurikulum. Inovasi pendidikan dapat pula lahir manakala terdapat pendirian yang baru mengenai pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat sehingga sistim inovasi pendidikan yang lama tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat. Perubahan kurikulum merupakan hal yang biasa dilakukan oleh pemerintah dan bilamana pemerintah mempertahankan yang ada akan merugikan masyarakat itu sendiri. Dengan mengacu pada prinsip-prinsip pendidikan, maka inovasi kurikulum yang relevan adalah kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan untuk memberikan keahlian dan keterampilan sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan daya juang untuk menciptakan kehidupan yang berharkat dan bermartabat ditengah-tengah perubahan persaingan dan kerumitan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.

E. Inovasi dalam Pembelajaran

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya menyangkut dengan teori pembelajaran telah banyak mendorong dan mengilhami terhadap inovasi di bidang model-model pembelajaran. Pergeseran istilah “mengajar, belajar, proses belajar mengajar” kepada “pembelajaran” semestinya tidak hanya dilihat dari sekedar perubahan, akan tetapi mendalam dan harus dipahami landasan filosofi dan pergeseran paradigma yang terkandung di dalamnya.

Pembelajaran sebagai suatu sistim atau proses membelajarkan siswa yang direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara sistematis agar pembelajaran dapat mencapat tujuan pembelajaran secara aktif, efektif dan inovatif.

Pembelajaran merupakan sesuatu yang kompleks, artinya segala sesuatu yang terjadi pada proses pembelajaran harus merupakan sesuatu yang sangat berarti, baik ucapan, pikiran maupun tindakan.

Karena itu secara umum makalah ini akan menguraikan beberapa format pembelajaran modern yang diperkirakan akan mewarnai pelaksanaan kurikulum dan pembelajaran di sekolah-sekolah dimasa mendatang, yaitu pembelajaran kuantum, pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran kontekstual serta pembelajaran berbasis komputer.

Pembelajaran kuantum dikembangkan oleh Bobby de Porter (1992) yang beranggapan bahwa metode belajar ini sesuai dengan kerja otak manusia dan cara belajar manusia pada umumnya melalui model SuperCamp yang dikembangkan pada awal tahun 80-an, dimana kurikulum yang dikembangkan secara harmonis dan berisi kombinasi dari 3 unsur:

  1. Keterampilan akademis (academic skills)
  2. Prestasi/ tantangan fisik (physical challenge)
  3. Keterampilan dalam hidup (life skills)

Asas utama pembelajaran kuantum adalah bahwa dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Subyek belajar adalah siswa yang memiliki modalitas yang harus difasilitasi oleh guru, sehingga guru harus berupaya lebih dulu untuk memahami potensi siswa sebagai subyek belajar. Prinsip model pembelajaran kuantum terdiri dari: segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap usaha dan rayakan merupakan konsep utama pembelajaran kuantum untuk mewujudkan energi guru dan siswa dalam percepatan belajar, mempermudah belajar dan mengikis hambatan belajar tradisional. Mengembangkan strategi pembelajaran kuantum melalui filosofi TANDUR, yaitu Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi dan Rayakan, sehingga dapat meningkatkan partisipasi siswa, motivasi dan minat siswa dan meningkatkan kehalusan perilaku siswa.

Ketika siswa datang ke sekolah, maka guru haruslah beranggapan bahwa pengetahuan dalam kepala siswa tidaklah kosong. Siswa dari kebiasaan sebagai interaksi dengan anggota keluarganya, pergaulan dengan sesama temannya dan dengan lingkungan hidupnya serta berbagai sumber bahan ajar seperti tontonan dan banyak pengetahuan dan informasi yang diperoleh. Berbagai pengetahuan yang ada di dalam kepala siswa itulah yang menjadi modal baginya untuk menerima, menyerap pengetahuan dan informasi baru yang disampaikan oleh para guru di sekolah. Hal ini merupakan peluang bagi guru untuk menindaklanjuti potensi yang sudah ada untuk mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna, sehingga peranan guru dalam pembelajaran kompetensi sebagai fasilitator, mediator dan motivator dapat dijalankan sesuai dengan kondisi pembelajaran.

Untuk itu ada upaya mengembangkan inovasi dalam pembelajaran ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

  1. Pengertian pembelajaran kompetensi
  2. Prinsip pembelajaran kompetensi
  3. Karakteristik pembelajaran kompetensi
  4. Pengelolaan pembelajaran kompetensi

Secara umum aspek yang perlu diperhatikan guru dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran meliputi:

  1. Pengelolaan ruang belajar (kelas)
  2. Pengelolaan siswa
  3. Pengelolaan kegiatan pembelajaran kompetensi
  4. Pendekatan kegiatan pembelajaran kompetensi
  5. Saran dan sumber belajar
  6. Model pendekatan pembelajaran kompetensi

Dari uraian di atas dapat diberikan pendekatan bahwa pembelajaran kompetensi menunjukkan pada usaha siswa mempelajari bahan sebagai akibat perlakuan guru dalam mengelola pembelajaran yang menekankan pada kemampuan dasar yang dilakukan siswa pada tahap pengetahuan, keterampilan dan sikap.

Pembelajaran kompetensi menekankan pencapaian standar kompetensi yang diurai menjadi beberapa materi pelajaran yang cakupannya beberapa indikator. Prinsip-prinsip pembelajaran kompetensi bertitik tolak pada pengelolaan kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan suatu kondisi dapat terjadi proses belajar pada siswa dengan melibatkan berbagai aspek yang mempengaruhi baik yang terdapat dalam diri siswa maupun sesuatu yang berada pada lingkungan sekitar serta peranan guru.

Pembelajaran kompetensi memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan pembelajaran lainnya, seperti apa yang dipelajari siswa, bagaimana proses pembelajaran, waktu belajar dan kemajuan belajar siswa secara individual.


BAB III

PERLUNYA MONITORING DAN EVALUASI DARI PROGRAM INOVASI

A. Komponen yang Dimonitor dan Dievaluasi

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sebagai sistem, memiliki komponen-komponen yang saling terkait secara sistematis satu sama lain, yaitu input, proses, output dan outcome. Konteks adalah ekternalitas sekolah berupa demand and support (permintaan dan dukungan) yang mempengaruhi pada input sekolah.

Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia dan siap karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat-perangkat lunak dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Secara garis besar, input dapat diklarifikasikan menjadi tiga, yaitu harapan, sumberdaya dan input manajemen. Harapan-harapan terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran. Sumberdaya dibagi menjadi dua yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan). Input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, regulasi (ketentuan-ketentuan, limitasi, prosedur kerja, dan sebagainya), dan pengendalian atau tindakan turun tangan. Esensi evaluasi pada input adalah untuk mendapatkan informasi tentang ketersediaan dan kesiapan input sebagai prasyarat untuk berlangsungnya proses.

Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam KBM sebagai sistem, proses terdiri dari ; proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengolahan program, proses belajar mengajar, proses evaluasi sekolah, dan proses akuntabilitas. Dengan demikian, fokus evaluasi pada proses adalah pemantauan (monitoring) implementasi PBM sehingga dapat ditemukan informasi tentang konsistensi atau inkonsistensi antara rancangan/ disain PBM semula dengan proses implementasi yang sebenarnya. Konsistensi antara rancangan dan proses pelaksanaan akan mendukung tercapainya sasaran, sedang inkonsistensi akan menjurus kepada kegagalan PBM. Dengan didapatkan informasi inkonsistensi tersebut, segera dapat dilakukan koreksi/ pelurusan terhadap pelaksanaan.

Output adalah hasil nyata dari pelaksanaan PBM. Hasil nyata yang dimaksud dapat berupa prestasi akademik (academic achievement), misalnya nilai EBTA, EBTANAS, dan peringkat lomba karya tulis, maupun prestasi non-akademik (non-academic achievement), misalnya imtaq, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi olahraga, kesenian, dan kerajinan. Fokus evaluasi pada output adalah mengevaluasi sejauh mana sasaran (immediate objevtives) yang diharapkan (kualitas, kuantitas, waktu) telah dicapai oleh PBM. Dengan kata lain, sejauhmana hasil nyata sesaat sesuai dengan hasil/ sasaran yang diharapkan. Tentunya makin besar kesesuaiannya, makin besar pula kesuksesan Proses Belajar Mengajar.

Outcome adalah hasil PBM jangka panjang yang berbeda dengan outcome yang hanya mengukur hasil PBM sesaat/ jangka pendek. Karena itu fokus evaluasi outcome adalah pada dampak PBM jangka panjang, baik dapat individual (tamatan SLTP), institutional (SLTP) dan sosial (masyarakat). Untuk melakukan evaluasi ini, pada umumnya digunakan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis).

B. Jenis-jenis Monitoring dan Evaluasi

Ada dua jenis monitoring dan evaluasi sekolah, yaitu internal dan eksternal. Yang dimaksud monitoring dan evaluasi internal adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh sekolah sendiri. Pada umumnya, pelaksana monitoring dan evaluasi internal adalah warga sekolah sendiri yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, guru bimbingan dan penyuluhan, dan warga sekolah lainnya. Tujuan utama monitoring dan evaluasi internal sekolah adalah untuk mengetahui tingkat kemajuan dirinya sendiri (sekolah) sehubungan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Sedangkan yang dimaksud monitoring dan evaluasi eksternal adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh pihak eksternal sekolah (external institution), misalnya Dinas Pendidikan, Pengawas dan Perguruan Tinggi, atau gabungan dari ketiganya. Hasil monitoring dan evaluasi eksternal dapat digunakan untuk; rewards system terhadap individu sekolah, meningkatkan iklim kompetisi antar sekolah, kepentingan akuntabilitas publik, memperbaiki sistem yang ada secara keseluruhan, dan membantu sekolah dalam mengembangkan dirinya.

BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berbagai kenyataan tidak optimalnya mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah manejemen pendidikan. Dalam kenyataan, manajemen pendidikan yang selama ini bersifat sentralistik telah menempatkan sekolah pada posisi marginal, kurang berdaya, kurang mandiri, dan bahkan terpasung kreativitasnya. Untuk itu, Depdiknas terdorong untuk melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan dari manajemen pendidikan mutu.

Dengan PBM ini, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Direktorat Pendidikan Menengah Umum berkemauan kuat dan bertekad bulat mengupayakan pengembangan SLTP/ Dikmenum dapat terjadi dan mengakar di sekolah.

Pergeseran pendekatan manajemen ini jelas memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik secara teknis maupun kultural. Penyesuaian secara teknis dapat dilakukan melalui penataran, lokakarya, seminar, dan diskusi tentang Proses Belajar Mengajar. Sedang penyesuaian secara cultural dapat dilakukan melalui manajemen pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai bentuk karakter kepada semua warga sekolah.